Dokter Sophia Benedicta Hage tak pernah menyangka, kegalauannya ketika menentukan bidang jurusan kuliah saat SMA justru berbuntut pada karirnya kini.
Menjadi seorang dokter adalah cita-cita Sophia kecil. Ditambah dorongan dan dukungan sang ibunda tercinta, dia semakin berambisi untuk meraih cita-citanya.
"Mamaku tuh dulu pengen aku jadi dokter tapi nggak kesampaian jadi mama selalu bilang 'kamu jadi dokter aja'. Walaupun waktu kecil memang pengen jadi dokter. Tapi pas masuk SMA jadi mikir lagi-karena pas SMA aku aktif OSIS dan aktif kegiatan lain jadi mikir apa masuk HI atau komunikasi aja karena suka ngomong dan suka dengerin cerita orang," ungkap wanita kelahiran 15 Juli 1984 ini saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta oleh tim Health-Liputan6.com, Rabu lalu.
Kegundahannya membuat Sophie--sapaan hangatnya, berpikir keras sebelum melangkah lebih jauh. Dan seketika ia teringat oleh sang Bunda yang mulai memasuki fase menopause.
"Lagi mikir mau pilih jurusan apa tiba-tiba aku inget mama. Jadi waktu aku SMP itu aku mengalami fase-fase di mana mamaku menopause. Aku kehilangan pegangan karena dulu aku deket banget sama mama. Aku ngeliat mamaku kayaknya susah banget-karena menopause yang dialami dia, gejalanya cukup hebat," ujar dia sambil mengingat.
Di tengah kesulitan dan rasa sakit yang dialami ibunya, terlintas pemikiran sekaligus pertanyaan hebat. Sophie sempat berpikir untuk apa orang hidup kalau hidupnya itu susah. Dia pun berkaca diri hingga menemukan jawaban atas pertanyaan dalam dirinya.
"Buat apa sebenarnya aku dilahirkan disini?," sebutnya.
Pertanyaan yang muncul saat itu membuat dirinya terus mencari jawaban. Sejak itu Sophie berpikir, tujuan hidupnya bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain, bahkan masyarakat.
Sebelum memutuskan untuk memilih jurusan Ilmu Kedokteran, Sophie sempat berpikir untuk memilih jurusan Hubungan Internasional atau Komunikasi. Menurutnya, toh jurusan itu tetap membuat dirinya bisa membantu orang lain. Tetapi nuraninya berkata menjadi seorang dokter adalah cara paling mudah untuk menolong orang lain.
"Pekerjaan dokter itu cara paling mudah untuk menolong orang lain atau bermanfaat bagi orang lain-karena nggak ngapa-ngapain aja tugas atau pekerjaannya pasti bermanfaat. Contoh paling dekatnya adalah pasien," katanya.
Si Bule Medok
Hingga kelas lima SD, wanita berkulit putih ini menghabiskan masa kecilnya di kota pahlawan, Surabaya. Dia harus mengikuti orangtua yang berpindah tugas ke Jakarta, dan melanjutkan sekolah di BPK Penabur VIII Bintaro hingga tamat SMP.
Sophie masih ingat, ada segelintir cerita lucu nan berkesan di hari-hari pertamanya sekolah di Jakarta. Ia sempat dijuluki sebagai "Bule Medok" oleh teman-teman satu sekolahnya.
Sophie mengakui, orangtuanya bukan orang Indonesia asli. Ayah Sophie memiliki darah Belanda dan ibunya berasal dari Korea. Hal ini menjadikan Sophie tak fasih berbicara bahasa Indonesia sejak kecil.
Displaying foto mama-papa.jpg
beritaterkiniberitabaru
"Papa ngomong sama aku bahasa Inggris dan Jerman, sedangkan mama ngebiasain aku dari kecil ngomong pakai bahasa Korea. Jadi aku belajar bahasa Indonesia itu dari pembantu atau dari temen-temen di sekolah. Nah karena sekolahnya di Surabaya jadi belajar bahasa Indonesianya pakai logat Jawa," kenang wanita bertubuh mungil ini sambil tertawa.
Ejekan dan ledekan "Bule Medok" pun kian melekat pada Sophie hingga ia lulus dari sekolah tersebut. Apesnya, saat baru pindah sekolah tak lama Sophie ditugaskan untuk membaca UUD 45 dalam upacara bendera.
"Satu sekolah dari kelas satu sampai enam langsung bilang 'lah Sophie medok itu ya..," katanya.
Wanita yang lahir di Surabaya ini memang terbiasa dididik dengan ragam bahasa sejak kecil. Nama belakangnya--Hage (baca: Hahe') seolah tak menandakan dia ia asli Warga Negara Indonesia.
"Sebenarnya nama aku cuma Sophia Hage, Sophia atau Sofie itu berasal dari bahasa Yunani yang artinya wisdom dalam Inggris yang mempunyai arti pengetahuan atau bijaksana. Sedangkan Hage itu bahasa Belanda yang merupakan nama belakang keluarga papa," katanya.
Belum selesai ia menceritakan asal muasal namanya, nama tengah Benedicta justru memiliki sejarah tersendiri baginya. Seperti yang diceritakan oleh sang ibu kepadanya, Benedicta ternyata berasal dari celetukan suster di rumah sakit, tempat dia dilahirkan.
"Susternya bercanda sama mama, karena waktu itu heboh pas kejadian lahir itu aku dijadwalinnya bukan hari Minggu, tapi pas hari kerja, eh tahunya aku lahir hari Minggu dan enggak ada dokternya. Akhirnya ke rumah sakit lain--yang merupakan salah satu rumah sakit Katolik. Dan susternya disitu bilang kalau lahirnya hari Minggu anaknya diberkati, dan biasanya para pendeta akan menamai Benedicta. Darisitu, nyokap terispirasi dan akhirnya ada Benedicta-nya," ujarnya.
Menabung demi liburan
Meski hidup berkecukupan namun kedua orangtua Sophie tidak pernah memanjakan dirinya. Sophie terbiasa mandiri sejak kecil. Kebiasaan ini dibawanya hingga dia menjalani studi kedokteran di Universitas Airlangga, Surabaya.
Bahkan untuk liburan, Sophie harus cukup menabung ke tempat destinasi favoritnya. Dia mengatakan, Jakarta biasanya menjadi destinasi utama untuk menghabiskan waktu liburan di akhir semester. Tapi selain itu, beberapa kota di sekitar Jawa seperti Yogya, Malang, atau Solo juga kerap didatanginya.
"Setiap berlibur aku harus menyisihkan uang bulanan untuk membeli tiket kereta kelas ekonomi. Tapi kalau ada uang lebih aku akan memilih untuk naik kereta kelas bisnis yang lebih nyaman," ujar dia.
Liburan ala Sophie benar-benar berbeda dari liburan para wanita pada umumnya. Wanita penggila durian ini lebih sering pergi berlibur seorang diri. Baginya berlibur sendiri sudah cukup menyenangkan.
Baca juga infohangat7
"Pokoknya you meet interesting people on the train. Setiap kali naik kereta pasti aku ngumpulin cerita, terus ketemu banyak orang dan cerita menarik," ungkapnya.
Ada satu hal yang paling dia ingat, ketika itu dia menerima tawaran temannya untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada seorang pria asal Finlandia. Karena kecakapan bahasanya, tentu bukan hal yang sulit mengajarkan bule tersebut. Tapi yang saat itu terpikirkan olehnya adalah mendapatkan uang demi liburan.
Setelah uang berhasil terkumpul, Sophie memutuskan untuk berlibur ke pulau Dewata, Bali. Namun lagi-lagi, misinya ke Bali bukan sekedar berwisata mahal tetapi dia ingin mengenal lebih jauh budaya dan masyarakat di pulau nan mempesona itu.
Hampir satu bulan Sophie menghabiskan waktu di Bali. Dia dan kedua temannya tinggal di satu kos-kosan milik temannya, seorang pelukis di Bali.
Hari demi hari pun ia habiskan disana, mengunjungi studio lukis milik temannya, bertemu dengan banyak orang baru, menikmati swastamita (matahari terbenam), bercengkrama dengan penduduk di sekitar tempat singgahnya, hingga menemukkan sisi gelap pulau dewata.
"Selama ini aku selalu denger cerita, kalau kekerasan perempuan di Bali tuh cukup tinggi dan di satu malam aku terbangun dan melihat langsung kekerasan perempuan untuk pertama kalinya dan terjadi pada tetangga kosan aku" ingatnya.
Malam itu, ia tak sengaja melihat seorang pria dalam keadaan mabuk bersikap tak wajar kepada pasangannya. Merasa tak enak hati, Sophie pun hanya terdiam. Sejak itu, dia merasa ingin terjun langsung menolong para korban kekerasan wanita.
Sumber berita http://health.liputan6.com
Senin, 06 Juni 2016
New
Home
/
Info Artis
/
Kesehatan
/
lifestyle
/
Sosok Dokter Cantik Sophia yang Peduli Korban Kejahatan Seksual
Sosok Dokter Cantik Sophia yang Peduli Korban Kejahatan Seksual
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.